Ibnu Banuharli dan Sutarman (with NKRI) Wayang Tanpo Aran in two acts: "Ontran-Ontran Alas Ponteng" & "Murcane Wit Pule Mayang Sekar" (wayang performance)

Pak Tarman dan pak Ibnu memilih wayang sebagai metode presentasi dalam memaknai kegelisahannya atas Kaliurang sebagai area wisata dan berbagai situasi nyata atas krisis iklim dunia dalam kehidupan sehari-hari. Mereka merasa bahwa pengetahuan, diskusi, dan pengalaman mingguan mereka dalam membicarakan krisis iklim perlu diteruskan ke publik yang lebih luas. Wayang dipilih sebagai bentuk transmisi pengetahuan dan ajakan untuk melestarikan alam sekitar yang dengan mudah bisa diterima oleh masyarakat luas.

Lakon pertama berjudul “Ontran-Ontran Alas Ponteng” membawa pesan atas kelestarian alam di tengah pembangunan ekonomi dan pariwisata sekaligus menceritakan tentang sistem pengobatan tradisional yang digunakan oleh para pencari rumput saat terluka di hutan. Lakon kedua berjudul “Murcane Wit Pule Mayang Sekar” bercerita tentang hilangnya pohon-pohon besar dan pentingnya menjaga pohon-pohon tersebut untuk kelestarian alam dan ketersediaan air bersih.

Naskah bagi cerita wayang tersebut dibuat oleh Pak Tarman dan dipentaskan oleh pak Ibnu sebagai dalang. Pertunjukan wayang ini berlangsung singkat, kontemporer, dan tidak sepenuhnya mengikuti pakem pewayangan– karenanya disebut sebagai Wayang Tanpo Aran. Diiringi oleh kelompok gamelan NKRI (Nindakake Karawitan Religi Islami), pertunjukan dua babak ini tampil di hari pembukaan, di hadapan masyarakat luas dan pemangku kebijakan.

Site #9: Padukuhan Lama Kaliurang Timur
Artists: Ibnu Banuharli dan Sutarman (dengan NKRI)
Wayang Tanpo Aran dalam dua babak: "Ontran-Ontran Alas Ponteng" dan "Murcane Wit Pule Mayang Sekar", 2022 (wayang performance)

_____

Pak Tarman and Pak Ibnu chose wayang as a presentation method in interpreting their concern over Kaliurang as a tourist area and its multiple issues regarding the world climate crisis in their daily lives.  They feel that their knowledge and weekly experiences in discussing the climate crisis need to be passed on to the wider public.  Puppets were chosen as a form of transmitting knowledge and a friendly invitation to preserve nature that could easily be accepted by the wider community.

The first play entitled “Ontran-Ontran Alas Ponteng” conveys a message of nature conservation in the midst of economic development and tourism as well as tells about the traditional medicine system used by grass forager when injured in the forest.  The second play entitled “Murcane Wit Pule Mayang Sekar” tells about the loss of large trees and the importance of keeping these trees for the preservation of nature and the availability of clean water.

The script for the wayang story was written by Mr. Tarman and staged by Mr. Ibnu as the puppeteer. This wayang show is short, contemporary, and does not fully follow the standard of wayang– thus getting the name of ‘wayang tanpa aran’ (termless wayang).  Accompanied by the sincretic gamelan group NKRI (Nindakake Karawitan Religi Islami), this two-act show was performed on the opening day, in front of the wider community and policymakers.

Site #9: Padukuhan Lama Kaliurang Timur
Arrists: Ibnu Banuharli dan Sutarman (with NKRI)
Wayang Tanpo Aran in two acts: "Ontran-Ontran Alas Ponteng" & "Murcane Wit Pule Mayang Sekar", 2022 (wayang performance)