Sugi dan Misteri Tangan


Sugi menambahkan teh pada gelas beling yang terletak di sampingnya. Asap kretek tak berhenti mengepul dari mulutnya. Dari tempat ia duduk gunung merapi terlihat sangat jelas, besar dan sombong seperti hantu yang sering mengetuk jendela kamarnya. Udara dingin membuatnya mengeratkan sarung di tubuhnya. Entah mengapa dia merasa ruang tamu rumahnya terasa begitu dingin kali ini. Bahkan rokok dan sarung tak bisa mengusir dingin pergi. Dia hanya tinggal berharap mendapat hangat pada cairan teh kental di cangkirnya. Selebihnya entah bagaimana ia bisa mengatasinya. 

Sugi lengkapnya Sugiono tinggal sendiri di rumah warisan bapaknya. Rumah dari batu bata yang dilabur dengan gamping terlihat seperti rumah peri dalam dongeng anak-anak, mungil dan cantik. Di sudut biasanya dia duduk mencangkung, terdapat tumpukan tong kecil berisi formalin milik kakak perempuannya yang mempunyai toko kimia kecil di sudut jalan.  Sugi hidup sendiri. Kadang  kakaknya datang untuk menghantarkan makanan dan mengecek persediaan formalin. Dia sendiri jarang memasak. Hidup sendiri membuatnya enggan melakukan banyak hal yang berhubungan dengan dapur. Paling ia ke dapur untuk menghangatkan air untuk mandi atau membuat teh, selebihnya bergantung pada warung Yu Parni di pojok jalan, atau menunggu kakak perempuannya mengirim makanan dari rumahnya. Rumah kakaknya ,mbak Suti, tak jauh dari rumahnya. Cukup berjalan menyusuri jalan besar, lalu dari warung Yu Parni berbelok ke utara sekitar berapa meter. Rumah besar dengan jendela bercat merah itulah kakak perempuan satu satunya tinggal. Suami adalah lurah desa Kaliurang. Cukup berada dan selalu menyiapkan makanan berlebih untuk berjaga jaga jika ada tamu datang. 

Sugi berwajah tirus. Hidungnya mancung seperti ningrat. Ketampanannya seharusnya membuatnya mudah mencari jodoh, tapi entah kenapa dia selalu menolak setiap ajakan dan godaan dari banyak perempuan. Umurnya mendekati kepala lima, rambutnya sebagian sudah memutih, mengintip malu dari sela-sela rambut ikalnya. Rambut memutih dan geraknya yang canggung malah membuat dia semakin terlihat  matang.  Hidupnya selalu diliput misteri. Berasal dari keluarga kaya di desa dan sedari kecil dimanja membuat dia cukup punya alasan untuk tidak perlu bergaul dengan banyak orang. Sugi memang pendiam. Tatapan matanya yang tajam memang membuat banyak orang tidak nyaman terlalu lama berdekatan dengan dia.

Kaliurang desa yang terletak di lembah gunung merapi. Sejak lama terkenal sebagai tempat wisata penduduk sekitar Yogyakarta. Hawanya dingin dan udara segar menjadi hiburan bagi sebagian penduduk kota yang hampir setiap hari menghirup asap polusi. Setiap hari Sabtu dan Minggu berbondong – bondong orang datang ke desa yang dingin ini. Sebagian besar penduduk menyambut dengan gembira para pelancong ini, karena mereka dapat mendapat penghasilan tambahan sebagai pemandu turis atau penjual makanan. Pak lurah, kakak ipar Sugi juga ikut menyewakan sebagian kamar di rumah besarnya yang tak terpakai itu sebagai losmen. Oleh karena banyaknya wisatawan domestik itulah, setiap akhir minggu penduduk sibuk menjadi tuan rumah dadakan. Satu-satunya yang  acuh tak acuh hanya Sugi. Rumahnya tetap terkunci rapat. Hanya saja ada yang sedikit berubah pada diri Sugi, semenjak banyak wisatawan datang, dia lebih sering tampak hilir mudik ke luar rumah. Awalnya tetangganya heran, tapi mengingat bahwa sugi tidak pernah mencampuri urusan  pelan-pelan mereka tak mengacuhkan. Karena selalu melihat Sugi hilir mudik dengan membawa parang dan bungkusan karung itulah mereka menduga dia sedang mencari makan untuk hewan piaraannya yang entah apa. Sesekali juga dari dalam rumah Sugi terdengar suara benda jatuh. Tapi para tetangga juga tak pernah ambil pusing. Aktivitas Sugi yang baru kemudian menjadi hal biasa bagi penduduk Kaliurang. Akhir-akhir ini Sugi jarang meminta kiriman makanan dari kakak perempuannya. Entah kenapa ia sekarang selalu memesan makan di warung Yu Parmi. Selain perbedaan-perbedaan kecil itu semua tampak sama. Sugi tetap laki-laki pendiam dengan pandangan mata tajam menusuk.  

Tidak jauh dari Rumah Sugi mengalirlah sebuah sungai yang tak terlalu dalam akan tetapi cukup deras aliran airnya. Penduduk memanfaatkan aliran sungai itu hanya untuk mandi dan mencuci. Itu pun pada bagian sungai yang landai. Sungai itu sesungguhnya tidak terlalu ideal untuk beraktivitas sehari-hari. Mengalir di sebuah dasar jurang sehingga hanya bagian yang landai saja yang dapat dipakai sebagai tempat mencuci dan mandi. Untuk itu tetap harus dibuatkan tangga khusus untuk turun dan naik. Sampai suatu pagi terjadilah peristiwa yang menggegerkan. Mbok Ratmi yang baru saja mencuci mencium bau busuk beberapa meter di selatan tempat para penduduk desa biasa mencuci. Awalnya dipikirnya itu hanya bangkai binatang, akan tetapi makin hari baunya terasa semakin menyengat. Oleh karena bau itu berasal dari dasar sungai yang curam, maka satu-satunya cara untuk mengetahui asal bau itu adalah dengan turun ke bawah. Penasaran oleh bau yang mengganggu itu disuruhnya anak lelaki untuk turun ke dasar jurang untuk menyelidik asal bau itu. Dengan enggan anaknya turun mengikuti permintaannya. Dengan berbekal tali seadanya merambat turun ke dasar jurang menuju anak sungai yang mengalir. Terkejutlah dia ketika menemukan asal bau itu. Seonggok tangan manusia tampak tersangkut di batang pohon yang patah melintang. Lari lintang pukang ia mencoba merambat naik, tapi kegugupannya membuat dia tak bisa naik. Sia-sia kakinya menjejak tanah gembur di tubir jurang. Mbok Ratmi yang menunggu di atas ikut berteriak panik. Gegerlah penduduk desa yang damai itu. Seonggok tangan ditemukan tersangkut di sungai belakang rumah Mbok Ratmi. 

Sejumlah polisi datang untuk menyelidiki temuan itu. Berhari-hari mereka menyusur sungai itu mencoba mencari sisa tubuh yang lain. Sia-sia, setelah seminggu lebih pencarian dihentikan.  Pemilik tangan yang malang itu tetaplah misteri. Desa damai terkejut sesaat. Penemuan tangan itu menjadi perbincangan hangat selama berhari-hari. Banyak rumor dan spekulasi tapi tak satu pun jawaban ditemukan. Perlahan-lahan dimakan waktu, cerita penemuan tangan itu lindap.  Desa yang damai itu kembali diselimuti halimun. Ternyata kedamaian itu hanya berjalan singkat saja. Tak lama kemudian desa dikejutkan oleh temuan jasad manusia. Kali ini lebih lengkap. Hanya saja kepala dan tangan hilang. Selain itu payudaranya juga telah teriris. Jasad perempuan itu ditemukan sekali lagi di pinggir sungai agak jauh ke selatan. Lelaki malang yang menemukan jasad itu adalah anak muda yang sedang mencari lokasi untuk membuat video klip untuk kelompok musiknya. Lelaki malang itu ditemukan penduduk berteriak kesetanan di siang hari yang terik. Matanya membelalak lebar, mulutnya meracau tak karuan. Setelah ditenangkan barulah dengan wajah masih penuh ketakutan dia menunjukkan tempat sisa manusia itu. Jasad itu tentu sudah membusuk dan rusak karena terbentur batu di sungai, tapi polisi yang datang kemudian menyimpulkan bahwa jasad belumlah berusia terlalu lama. Artinya pembunuhan itu belum genap dua atau tiga hari. Kali ini polisi bekerja lebih keras. Bersama dengan bantuan penduduk mereka berusaha menyisir sungai itu ke arah hulu dan hilir. Tapi lagi-lagi mereka gagal menemukan satu petunjuk pun. Jasad tak lengkap itu kemudian dihubungkan dengan penemuan tangan sebelumnya. Polisi kemudian mulai menyelidiki lebih keras, satu persatu penduduk yang tinggal dekat sungai diinterogasi. Selain itu polisi juga menghubungkan penemuan jasad itu dengan laporan kehilangan di sekitar wilayah itu. Akhirnya dengan susah payah polisi menemukan laporan kehilangan dari dua orang perempuan muda di daerah Kentungan dan Gejayan. Dilaporkan mereka terlihat terakhir pergi ke Kaliurang. Jasad yang ada coba ditunjukkan kepada para pelapor kehilangan itu, tak ada hasil yang memuaskan. Jasad itu terlalu hancur. Atau tersisa tidak cukup banyak untuk dikenali. 

Penemuan ke dua itu membuat Desa Kaliurang menjadi lebih wingit dan tintrim. Wisatawan yang berkunjung sedikit demi sedikit berkurang. Cerita pembunuhan itu benar-benar memukul industri wisata yang baru tumbuh. Desa yang sempat ramai itu perlahan menjadi sepi. Tidak ada lagi muda mudi berpacaran di taman dekat pohon beringin besar. Orang -orang lebih memilih pantai Parangtritis untuk berlibur dari pada kolam renang di kaki bukit Kaliurang. 

Entah kenapa kabut terasa lebih pekat di desa kaki gunung ini sekarang. Sugi semakin jarang nampak. Kakak perempuannya meninggal belum lama, sebagian orang menyebutnya karena serangan jantung. Suaminya gagal dalam pemilih lurah pada periode berikutnya. Mendung nampaknya sedang menyelimuti keluarga besar ini. Rumah mungil berlabuh putih milik Sugi perlahan menua. Semak belukar memenuhi halamannya. Selang berapa lama Sugi tak lagi nampak sama sekali. Penduduk yang sedang diliputi kengerian tampaknya juga tidak peduli. Sugi perlahan hilang. Dilupakan. Rumahnya dipenuhi belukar dan perlahan runtuh. Penduduk sekitar menghindari lewat depan rumahnya. Beberapa orang sering melihat sosok laki-laki seperti Sugi duduk atau berjalan dengan seorang perempuan berujud aneh di sekitar rumah yang runtuh itu.

Tahun 2010 letusan merapi menutup hampir seluruh desa itu dengan abu vulkanis. Sebagian besar penduduk mengungsi ke kota. Desa ini untuk sesaat diselimuti abu tebal vulkanis. Seminggu setelah Merapi reda, berbondong-bondong penduduk kembali dari pengungsian. Rumah dan pekarangan yang awalnya tertutup abu mulai perlahan dibersihkan. Hanya satu yang tak pernah tersentuh, rumah Sugi. Perlahan rumah mungil yang dulu indah itu menjadi gundukan. Penduduk masih sering melihat sosok seperti Sugi lalu lalang dengan perempuan berujud aneh. Tapi tak ada yang bisa memastikan itu Sugi atau bukan. Tak ada yang berani menyapa atau bersilang jalan dengannya. Hilangnya Sugi menjadi misteri baru seperti halnya penemuan dua jasad yang tak pernah terpecahkan itu. 

Sampai suatu saat seorang perempuan muda dan pasangannya mempunyai ide untuk menghidupkan kembali desa Kaliurang sebagai tempat wisata. Bersama dengan kelompoknya mereka berniat mengadakan sebuah acara di desa ini. Untuk keperluan itu mereka berkeliling mencari lokasi yang tepat untuk digunakan sebagai lahan. Setelah menemukan beberapa tempat yang mereka cari, pandangan anak anak muda ini tertumbuk pada bekas rumah Sugi. Salah seorang dari mereka, seniman yang baru saja pulang dari belajar dari luar negeri, melihat gundukan yang menurutnya indah. Libido seninya membuncah. Ia berniat untuk membuat sesuatu di atasnya. Penduduk sekitar enggan mencegah ide seniman muda itu. Mereka tidak pula berniat mengingatkan betapa wingitnya tempat itu. Mereka sangat membutuhkan keramaian untuk menarik kembali orang datang seperti dulu. Panen belum lagi berhasil, mereka masih harus mengolah tanah setelah dipenuhi oleh abu vulkanis. Semua tanaman masih mati mengering. Dibutuhkan beberapa bulan lagi supaya debu vulkanis itu menjadi pupuk yang subur. Di bantu oleh beberapa orang, seniman muda itu mulai membersihkan sisa rumah itu. Reruntuhan dipinggirkan. Tembok rapuh dibersihkan. Mereka menemukan ada satu kamar yang terlihat agak utuh. Bahkan pintunya masih tertutup. Terkunci. Atap di atasnya memang sudah ambruk, tumpukan kayu atap tampak saling bertumpuk menutupi satu bagian kamar. Penasaran dengan ruang terkunci itu, mereka mendobraknya. Terkejutlah mereka. Menemukan di atas dipan kayu, dipenuhi dengan debu dan reruntuhan kayu sesosok kerangka manusia dan jasad perempuan yang relatif utuh. Kerangkanya itu tampaknya sedang menindih jasad perempuan yang ajaibnya terlihat utuh. Lintang pukang seperti orang gila. Anak-anak muda itu menjerit dan berlari ke luar rumah yang runtuh itu. 

Polisi kembali datang. Kali ini mereka bekerja dengan lebih teliti, datang bersama mereka para ahli forensik yang kemudian mengambil contoh dari penemuan kerangka dan mayat perempuan itu. Tak lama kemudian hasil penelitian polisi diumumkan. Kerangka yang menindih jasad perempuan adalah kerangka laki-laki, sedang jasad perempuan itu merupakan kumpulan dari dua orang manusia yang disatukan. Kepala tangan dan payudara berbeda dengan tubuh yang dilekatkan. Ditemukan juga sisa benang pada bagian-bagian yang dilekatkan. Yang menjadi pertanyaan para ahli forensik, kenapa jasad campuran masih terlihat utuh sedangkan jasad lainnya sudah berujud kerangka. Pengumuman hasil penyelidikan menggemparkan seluruh kota. Penduduk Kaliurang mengaitkan dengan Sugi dan perempuan berujud aneh, yang dulu sepintas pernah mereka lihat. Polisi tak bisa menyimpulkan apakah kerangka yang menindih adalah Sugi atau bukan. Tak ada data yang bisa dibandingkan dengan sisa kerangka. Sementara jasad dua perempuan yang disatukan dengan jahitan benang di leher, tangan dan payudara, ternyata berasal dari dua perempuan yang dinyatakan hilang. Ke dua tangan, payudara dan kepala adalah milik dari seorang mahasiswi Atmajaya bernama Karolina dari Gejayan, sedang tubuh dan kaki yang jenjang adalah milik Heti Wulandari seorang pemandu karaoke dari Kentungan. 

Sekali lagi Kaliurang menjadi gempar. Banyak orang yang ingin datang menyaksikan bekas rumah Sugi. Berduyun-duyun dengan menggunakan motor dan mobil. Desa yang dulunya sepi sekarang kembali ramai. Penduduk membuka lahan rumahnya untuk menampung parkir. Warung kembali hidup, penginapan mulai terisi para pelancong. Rumah Sugi menjadi daya tarik wisata baru. Ratusan orang setiap harinya ber swafoto di depan rumah dengan latar belakangnya gunung merapi yang cantik. 

Sementara anak-anak muda yang akan menggagas acara seni di Kaliurang, dikabarkan trauma. Pasangan penggagas acara dikabarkan memutuskan berhenti dari dunia seni. Dengan modal pinjaman mereka membuka toko kerajinan dan jasa foto keliling. Sementara seniman lulusan luar negeri yang memiliki ide untuk merespon reruntuhan rumah Sugi, memutuskan menjadi tukang pembuat stempel. Tak lama kemudian ia pindah ke luar negeri mengikuti pacarnya. 

Sementara penduduk desa Kaliurang kembali bergairah, karena rumah Sugi (demikian mereka menyebutnya) bisnis wisata kembali hidup. Kaliurang bukan lagi desa yang sepi. Bis dan kendaraan lain memenuhi jalan-jalan aspal yang sempit. Pak lurah pensiun yang dulu menjadi kakak ipar Sugi sekarang mengelola bekas rumah Sugi. Dia hidup dari menjual jasa foto dan parkir. Hidupnya membaik. Bahkan dia baru saja menikah lagi dengan istri keduanya, hanya bisnis toko kimia yang dulu dirintisnya bersama istrinya telah lama tutup. Berkurangnya penduduk keturunan cina dari Kaliurang, membuat penjualan formalin yang biasanya disuntikan ketika ada di antara mereka yang meninggal berkurang jauh. Sementara itu penjual bakso tidak cukup banyak untuk membuat toko kimianya mampu bertahan.

Penduduk Kaliurang memang masih melihat Sugi dan perempuan berujud aneh melintas sesekali. Akan tetapi mereka tak lagi takut. Setiap melihatnya mereka mengucapkan salam dan mengucapkan terima kasih dalam hati. Oleh karena Sugilah desa yang mati kembali hidup. 


(AGUNG KURNIAWAN, SEMBUNGAN KOTA HANTU,2017)