Recollecting Memories: Tukang Foto Keliling

(the English version: click here)

1 / Tukang Foto Keliling di Kaliurang
Ketertarikan saya dalam mengamati para tukang foto keliling di seputar kawasan wisata Kaliurang dimulai dari pertemuan saya dengan Pak Dasri, tukang foto keliling yang masih bekerja secara aktif di area wisata ini. Kaliurang adalah sebuah daerah wisata yang terletak di kaki gunung Merapi dan berjarak sekitar 25 KM dari kota Yogyakarta. Berada dalam ketinggian 900dpl, Kaliurang terkenal memiliki hawa sejuk pegunungan dan pemandangan yang indah. Kawasan ini mulai dikenal pada awal abad ke-19 saat beberapa ahli geologi Belanda mendirikan vila peristirahatan bagi keluarganya. Setelah masa kemerdekaan, vila-vila ini jatuh ke tangan pribumi. Sejak saat itu keluarga kerajaan, perusahaan, maupun perorangan mulai membangun rumah peristirahatan di sini.

Kaliurang dengan keindahan alamnya kerap menarik perhatian banyak wisatawan. Keluarga, teman, dan pasangan-pasangan kerap berfoto di tengah alam, taman bermain, di jalanan, dan di lokasi-lokasi indah lainnya. Pada saat kepemilikan kamera masih dinilai mewah, para tukang foto keliling sering menjajakan jasanya di berbagai titik lokasi wisata di Indonesia pada umumnya dan Kaliurang pada khususnya.

Pada sekitar tahun 1981, sejumlah tukang foto wisata keliling mulai bermunculan di Kaliurang. Hal itu diawali dari kehadiran distributor PT. Eresindo Jaya di kawasan wisata Kaliurang. Seorang warga lokal ditunjuk sebagai perpanjangan tangan dari PT. Eresindo Jaya dalam menyalurkan film-film instant produk Polaroid. Beliau kemudian menjalin kerjasama dengan beberapa orang yang berkeinginan untuk bekerja sebagai tukang foto keliling. Hubungan kedua pihak tersebut bisa dibilang lebih ke arah profesional: antara penyedia barang dengan konsumen. Selain sebagai penyedia barang, beliau juga yang membangun strategi ekonomi agar tidak terjadi saling rebut lahan dalam kapasitasnya sebagai koordinator wilayah. Dalam perjalanannya, meski pun hubungan baik selalu terjalin di antara para anggota; sekumpulan fotografer ini tidak pernah menjadi satu organisasi formal ataupun terikat dalam sebentuk komunitas. Hubungan baik tersebut hanya terjadi antar personal dan tidak diikuti dengan penyelenggaraan aktifitas-aktifitas yang bersifat organisasional seperti pembentukan identitas kelompok, pelatihan, maupun regenerasi.

2/ Fotografi Pariwisata
Pada masa tersebut, pariwisata menjadi salah satu aspek ekonomi yang penting bagi pemerintah. Fotografi pariwisata turut dibentuk dan didukung oleh pemerintah melalui media massa maupun sebagai media promosi. Kartu pos, iklan pariwisata, dan lomba foto kerap diadakan untuk mendukung pariwisata. Tujuan akhirnya adalah mempromosikan potensi pariwisata yang mengacu pada satu hal: alam yang indah dan belum terjamah. Satu hal ini kemudian dapat dipecah menjadi beberapa poin visual penguat, diantaranya: sifat tradisional, kebahagian (hubungan masyarakat-alam), dan alam tropis (eksotisme terhadap flora-fauna meliputi habitat tinggalnya). Beberapa upaya pemerintah dalam membangun potensi pariwisata melalui fotografi ini adalah dengan kerap menyelenggarakan perlombaan foto, yang biasanya mengakomodasi para fotografer amatir (pelaku fotografi non-komersial). Pembangunan potensi pariwisata yang dilakukan oleh pemerintah ini secara sistematis membentuk identitas serta citra atas Indonesia. Pada perkembangannya, terdapat tiga jenis cara pandang yang digunakan untuk melihat fotografi pariwisata tersebut:

Pertama, cara pandang turis; yaitu cara pandang yang berangkat atas foto-foto sebelumnya. Seseorang yang berwisata akan menggunakan referensi gambar-gambar yang sudah ada untuk memproduksi gambar yang sama. Referensi gambar-gambar yang sudah ada bisa jadi berasal dari media promosi pariwisata (brosur,kartu pos, dan sebagainya) ataupun berasal dari teman dan kerabat yang sebelumnya telah berfoto di lokasi wisata tersebut.

Kedua, cara pandang media; yaitu cara pandang yang memiliki tujuan promosi. Pengaruhnya yang kuat dan menimbulkan khayalan serta angan-angan mampu membuat seseorang sangat ingin menghasilkan foto yang sama. Tak heran jika cara pandang ini membuat seorang turis tidak lagi melihat lokasi wisata sebagai tempat namun sebagai objek penciptaan gambar.

Ketiga, cara pandang romantisme; yaitu cara pandang yang menggunakan pendekatan-pendekatan pengalaman serta ingatan. Seseorang yang beriwisata akan mencoba untuk menghadirkan nilai-nilai yang ada di benaknya. Dalam hal ini, nilai-nilai yang dimaksud terikat langsung dengan ingatan serta pengalaman personal.

Dengan adanya tiga cara pandang tersebut, peran para fotografer keliling menjadi penting untuk mengabadikan potret yang sesuai dengan keinginan pengunjung berdasarkan referensinya, angan-angannya, maupun sisi puitis lokasi yang selama ini ada dalam pikiran mereka. Peran para tukang foto keliling tersebut kemudian mulai berkembang dan usaha mereka tidak hanya berpegang pada nilai ekonomis semata namun juga pada pandangan romantik pemberi kepuasan atas jasa yang mereka tawarkan sekaligus sebagai promosi pariwisata. Kepuasan para tukang foto keliling ini juga ditentukan oleh kepuasan pelanggan yang berhasil memiliki foto sesuai angan-angan mereka.

3 / Tiga Dekade Foto Pariwisata di Kaliurang
Memasuki awal tahun 1990-an, jumlah tukang foto keliling di Kaliurang mulai menurun. Beberapa di antara mereka mulai menambah varian jasanya dan menjual foto-foto gunung Merapi sebagai suvenir wisata. Paska erupsi gunung Merapi tahun 1994, kunjungan wisata ke Kaliurang mulai menurun dan diikuti dengan menurunnya konsumsi fotografi pariwisata. Meskipun demikian, mereka mulai menjajakan foto erupsi gunung Merapi dan mendapatkan sambutan yang cukup baik dari sisi tersebut.

Memasuki tahun 2000, penjualan produk kamera instan Polaroid mulai menurun dan hal ini berakibat pada pola distribusi film instan pada kelompok-kelompok fotografi pariwisata di Indonesia. PT. Eresindo Jaya, yang menjadi penyedia produk Polaroid di Indonesia pun memutuskan untuk tidak menyediakan produk Polaroid sebagai bagian dari bisnis mereka pada kisaran tahun 2005. Pada tahun yang sama, jumlah tukang foto keliling di Kaliurang menurun drastis dan ‘kelompok’ fotografi yang disatukan oleh pola distribusi PT.Eresindo Jaya tersebut berakhir. Pada tahun 2008, Polaroid secara terbuka menjelaskan bahwa produksi film intstant-nya dihentikan. Dalam penjelasannya, penutupan ini disebabkan menurunnya penjualan sebesar 25 persen tiap tahun terhitung sejak tahun 2000. Hal ini juga dipengaruhi oleh kehadiran teknologi kamera pocket dengan harga yang lebih terjangkau dan serta telepon genggam berkamera yang mulai menjadi produk konsumsi sehari-hari. Dengan adanya pengunjung yang membawa alat rekam gambar mereka masing-masing; kehadiran fotografer keliling dirasa tidak lagi relevan dan akhirnya perlahan-lahan mulai tergerus jaman.

Kini, hanya tinggal dua orang yang masih aktif memotret sebagai tukang foto keliling di lokasi pariwisata lereng Merapi. Seorang di antaranya bekerja di kawasan Tlogo Nirmolo (Gua Jepang), dan yang lain bekerja di kawasan Kali Adem (lereng Gunung Merapi sisi timur). Mereka tidak lagi menggunakan Polaroid melainkan kamera pocket digital dan printer foto portable yang memungkinkan mereka mencetak langsung fotonya. Selain kedua orang tersebut, semua tukang foto keliling di Kaliurang telah beralih profesi karena tidak lagi melihat potensi ekonomi dari aktifitas tersebut. Meski ada beberapa yang masih melakukan aktifitas fotografi, namun praktik tersebut diaplikasikan kepada kebutuhan lain seperti media promosi maupun suvenir berupa kaos.

4 / Pameran: Pencarian Narasi
Dalam pameran ini, saya memiliki ketertarikan untuk mengolah arsip-arsip non-fisik seperti ingatan personal maupun kolektif dari mereka yang pernah menjadi bagian dari tukang foto keliling yang beroperasi di sekitar wilayah Kaliurang pada jamannya. Saya menggunakan istilah “Kelompok Fotografi Kaliurang” untuk menyebut mereka yang menjadi tukang foto keliling di Kaliurang pada periode tahun 1981-2005. Keterikatan mereka dalam sebuah ‘kelompok’ memang sebatas sebagai bentuk pola distribusi produk Polaroid melalui PT.Eresindo Jaya serta dalam pembagian wilayah kerja masing-masing fotografer keliling ini. Terdapat keterikatan dan kaitan yang menyatukan mereka meskipun hal tersebut bersifat tidak mengikat, organik, dan tidak resmi. Maka istilah ‘kelompok’ cukup relevan untuk digunakan dalam mempermudah penyebutan mereka pada tulisan saya selanjutnya. Pada proses penggalian kisah-kisah lisan berdasarkan ingatan mereka, saya menemukan wilayah abu-abu yang membuat penelusuran ini memiliki makna baru; yaitu kepercayaan atas ingatan. Hal inilah yang kemudian secara tidak langsung mampu menunjukkan relasi pelaku dengan aktifitasnya seperti kedekatan maupun tingkat kepercayaan terhadap aktifitasnya.

Dalam penelusuran artefak dan peninggalan fisik atas masa kejayaan Kelompok Fotografi Kaliurang ini, saya menemukan wilayah abu-abu yang serupa dengan ingatan mereka yang sedikit memudar dan tercampur-campur. Material foto yang rapuh, kesadaran atas penyimpanan dan keawetan foto, tidak adanya sistem katalog, dan kelembaban udara menyebabkan hilangnya atau rusaknya foto-foto mereka. Sementara itu, beberapa karya foto yang masih tersisa saya kumpulkan untuk menjadi sebuah narasi atas kisah-kisah masing-masing fotografer. Pameran ini kemudian menjadi sebuah pameran kelompok yang menampilkan karya-karya Kelompok Fotografi Kaliurang.

Karya pertama berupa foto-foto polaroid lama Pak Dasri atas lokasi ikonik di Taman Bermain Kaliurang. Taman ini menjadi salah satu area wisata favorit yang memiliki landscape menarik serta ikon-ikon unik yang kerap digunakan untuk berfoto. Pada jamannya, Pak Dasri merupakan tukang foto keliling yang beroperasi di daerah ini. Untuk memberikan ilustrasi atas foto yang mungkin diciptakan, beliau membuat beberapa contoh foto dengan latar belakang ikon-ikon wisata di taman tersebut; yaitu, gua naga dan Buto Ijo. Penggunaan ikon khusus yang menampilkan keberadaan seseorang di lokasi tersebut merupakan bentuk nyata pola perilaku fotografi pariwisata.

Karya berikutnya berupa foto kosong dengan label wisata lereng merapi yang diciptakan oleh Pak Wiji. Pak Wiji adalah satu dari dua orang tukang foto keliling yang masih bertahan hingga saat ini. Pola perkembangan jaman dan strategi bertahan yang dilakukannya adalah dengan menggunakan foto sebagai bukti nyata keberadaan pengunjung dan bentuk oleh-oleh. Bagi saya, kisah-kisah ketahanan pak Wiji lah yang terasa inspiratif. Lembaran kosong ini diikuti dengan cerita tentang bagaimana erupsi 2010 telah menghilangkan seluruh koleksi fotonya yang terkumpul sejak tahun 1980-an, bagaimana ia mulai beradaptasi dengan perubahan alat serta jaman, dan bagaimana strategi bertahannya hingga saat ini.

Sedangkan pak Triyanto kerap melakukan praktek kolase foto dan menciptakan foto wisata religi. Foto-foto ini muncul di tahun 1990, dimana praktek digital belum dikenal. Dengan kemampuan seadanya, dia membuat kolase foto religi dengan cara menggabungkan foto lanskap ikonik Kaliurang yang dipadukan dengan sosok tokoh keagamaan. Kolase tersebut kemudian difoto ulang hingga menjadi satu foto utuh yang baru. Jenis foto ini menjadi strateginya yang dirasa akan menghasilkan mengingat seringnya retreat keagamaan diselenggarakan di kawasan Kaliurang. 

Pak Tukimun memiliki contoh foto-foto yang biasa digunakan sebaga alat promosi. Foto-foto yang tersisa dari perjalanan pak Tukimun hanyalah foto sample yang dulunya dipergunakan sebagai contoh gambar yang kemudian diduplikasi. Mengingat kerja kamera analog sangat berbeda dengan kamera digital yang memiliki fitur preview; maka keberadaan contoh foto-foto ini sangat penting sebagai materi berjualan. 

Di lain pihak, Pak Slamet memiliki foto-foto keluarganya sendiri sebagai strategi bertahan dan penyelamatan. Foto-foto ini bukan sekedar foto keluarga semata namun juga merupakan bentuk strategi penyelamatan isi polaroid yang akan kadaluwarsa. Berawal dari denyut wisata yang menurun, fotografi pariwisata pun menurun. Hal ini tentu berdampak pada isi Polaroid yang telah terbeli dan tak kunjung habis. Alih-alih membiarkannya dimakan waktu, sisa-sisa ini pun digunakan untuk kepentingan pribadi dan sebagai kenang-kenangan bahwa dirinya pernah beraktifitas sebagai fotografer. 

Keseluruhan karya ini dipilih untuk menjadi narasi tentang sebuah masa dalam perjalanan para tukang foto keliling. Dalam pameran ini saya menempatkan diri sebagai kurator yang memilih, menempatkan narasi, dan menyusun pameran bagi lima orang fotografer dari Kelompok Fotografer Kaliurang. Pameran ini bukan akhir dari penelusuran saya baik atas kelompok maupun praktik fotografi dan hubungannya dengan pariwisata. Pameran ini kemudian menjadi satu pijakan penting bagi saya untuk melihat semuanya menjadi lebih luas dan memiliki relevansi dengan perubahan teknologi dan perkembangan jaman. 


---

References:
- Larsen, Jonas. 2006. “Geographies of Tourist Photography: Choreographies and Performances.” Geographies of Communication: The Spatial Turn in Media Studies, ed. Jesper Falkheimer and, Andre Jansson. Goteborg: NORDICOM (p. 243 – 261). 
-Strassler, Karen. 2010. Refracted Vision: Popular Photography and National Modernity in Java. Durham: Duke University Press.