Di Atas Gunung: Pepohonan Kamboja, Iklim Mikro dan Keterikatan Masyarakat


for English version, click here

--


Ketika kami melakukan perjalanan ke Kaliurang dari Yogyakarta dengan mobil, kami melewati sebuah pemakaman tua, ditandai dari lanskap sekitarnya yang dikelilingi oleh kebun Kamboja, yang reranting abu-abunya digunakan sebagai tempat berteduh bagi arwah orang-orang tercinta. Kami berhenti sejenak di tempat ini untuk melihat lebih dekat sekaligus bermandi sinar matahari yang keberadaannya akan berlalu begitu cepat selama musim hujan di daerah tropis.

Ketika kami melanjutkan perjalanan, temperatur udara menurun dan cuaca berubah kian mendung, hal itu bukan karena perubahan meteorologis melainkan tanda bahwa kami memasuki iklim mikro dari kaki Gunung Merapi, daerah yang terkenal karena udaranya yang lebih dingin dibandingkan sebagian besar wilayah lain. Awalnya penurunan suhu ini mengejutkan karena gradasi bertahap dari jalanan membuat kami tidak menyadari seberapa tinggi kami telah mendaki. Hanya menjelang akhir perjalanan, saat kami melintasi tanjakan tajam dan berliku di jalan berbukit, kami merasakan bahwa kami berada di lingkungan pegunungan. 

Ketika kami tiba di tujuan, sebuah toko barang antik dengan pelataran yang luas, kami melihat segerombolan teman dan kolega yang biasa kami temui di lingkungan seni Yogyakarta duduk di tangga toko sambil merokok, tertawa, nongkrong. Kita semua telah melakukan perjalanan ke desa ini di kaki gunung berapi untuk pembukaan 900mdpl, proyek seni site-specific yang mengundang 9 seniman untuk berkarya di Kaliurang, dan bekerja bersama penduduk untuk mengembangkan dan mempresentasikan karya mereka. Proyek ini mengambil namanya dari ketinggian Kaliurang di atas permukaan laut. Desa ini, kampung halaman sang kurator Mira, memiliki nuansa yang akrab dengan penginapan wisata yang mulai sepi. Arsitektur bangunan yang dulunya megah ini, namun sekarang sudah pudar, menjadi indikator kejayaan penginapan tersebut di paruh pertama abad ke-20.

Toko barang antik itu sendiri adalah titik awal; sekaligus pusat informasi bagi pengunjung informal dari proyek ini: menyediakan peta Kaliurang yang digambar tangan yang memuat lokasi dari tiap-tiap karya, menjual buku saku panduan pameran sekaligus menyediakan makanan dan minuman gratis. Untuk kunjungan kami, peta-peta ini berguna untuk memberikan gambaran umum mengenai proyek ini namun tidak cukup dibutuhkan untuk menginformasikan rute perjalanan karena kami mendapatkan keistimewaan untuk bergabung di salah satu guided-tour yang dipandu oleh para seniman yang dijadwalkan sepanjang hari-hari pembukaaan. Kelompok kecil kami berkumpul di depan toko barang antik dan dipandu oleh Dito Yuwono, seorang seniman dalam proyek ini sekaligus merupakan warga Kaliurang. Dia mulai dengan memberikan gambaran singkat tentang 900mdpl, sebelum mengarahkan kami masuk ke toko barang antik.

Di sini kami berhadapan dengan karya pertama, sebuah video dari Simon Kentgens diproyeksikan ke belakang rak di salah satu etalase. Video tersebut menunjukkan serangkaian objek yang ditempatkan di atas meja, diputar, disesuaikan, lalu diganti dengan benda berikutnya dengan tangan seseorang.

Di atasnya adalah suara yang menceritakan benda-benda tersebut dan mengapa mereka dipilih, Kentgens meminta generasi yang berbeda dari toko yang dikelola keluarga ini untuk menceritakan benda-benda favorit mereka. Masing-masing dari kami bergantian untuk mendapatkan giliran melihat film dari layar display selagi pemandu kami memberikan gambaran mengenai karya tersebut. Kami menonton film itu selama beberapa menit kemudian berlalu, mengamati benda-benda sehari-hari di toko sambil berjalan menuju pintu keluar. Dito mengumpulkan kami di sudut toko dan membawa kami melewati lorong sempit yang agak menjorok ke bawah.

Melewati lorong yang serupa pintu konser, rombongan kami kemudian sampai pada sebidang tanah kosong yang luas di bagian belakang toko antik. Di tengah petak tanah yang banyak ditumbuhi semak-semak ini ada fondasi beton berbentuk persegi dan sisa-sisa dinding yang rendah. Awalnya, tampak hanya ada sedikit atau bahkan tidak ada intervensi sama sekali di situs ini, kemudian ketika pemandu kami mulai menceritakan kisah tentang karya ini, komposisi yang jelas-jelas disengaja mulai terlihat. Dito menjelaskan bahwa ini adalah karya seniman bernama Maryanto. Sebuah karya yang menanggapi kisah tentang seorang lelaki setempat dengan masalah kesehatan mental, Lik Sigun, yang menghilang lebih dari tiga tahun lalu. Situs ini, yang pernah ditempati oleh lelaki yang hilang itu, benar-benar ditumbuhi pohon ketika Maryanto pertama kali datang ke sana. Setelah mencoba menemukan kisah pribadi dari keluarga, teman, dan tetangga tentang kehidupan dan kegiatan Lik Sigun, sang seniman mulai memotong pohon dan tanaman untuk membersihkan situs, dan menemukan dasar beton rumah tempat lelaki yang hilang itu pernah tinggal, sebentuk ukiran negatif. Maryanto kemudian menciptakan berbagai komposisi di seluruh situs menggunakan bahan-bahan yang ditemukan di sana untuk merujuk pada anekdot khusus tentang Lik Sigun. Salah satunya adalah satu set display (yang sangat menakjubkan) dari pahatan batu, yang diduga dipahat oleh penghuni rumah ini dulunya, serta 5 ekor kelinci hidup yang menggantikan hewan-hewan peliharaan Sigun yang ia bebaskan untuk berkeliaran di rumahnya.

Kami bertanya-tanya tentang etika mengklaim kembali ruang tersebut dan bagaimana perasaan keluarga mereka, tetapi kemudian diberitahu bahwa semua keluarga telah terlibat dalam proses pembuatan karya untuk lelaki yang hilang dan terpinggirkan itu, dan melihat karya ini sebagai sebuah penghormatan. Kami juga bertanya-tanya tentang etika memasukkan kelinci sebagai alat peraga dalam karya seni (satu diantaranya hilang selama proyek berlangsung). Kami merasa bak seorang penjelajah, aktor dalam film, juga seperti masuk dalam adegan investigasi di film kriminal ketika mengunjungi situs ini.

Bagi kami, ketidaknyamanan yang ditimbulkan melalui penceritaan sejarah pribadi ini, di mana ia terjadi; meminta masyarakat untuk masuk tanpa izin ke rumah yang ditinggalkan orang hilang yang memiliki realitas masalah kesehatan mental, adalah kunci bagi agensi karya tersebut. Namun, mikro-politik dari perbincangan dan negosiasi seniman dengan keluarga dan kerabat Lik Sigun, serta peninggalan dari proyek tersebut (agar tidak menciptakan momen kehilangan lain) adalah kunci untuk memahami etika dari karya, tanpanya tidak akan ada akses bagi para audiens. Pemandu kami memberikan gambaran umum tentang proyek tersebut, menjelaskan berbagai elemen pekerjaan dan mengobrol melalui berbagai pertanyaan, ia memberikan jawabannya dengan singkat dan ramah. Sebagai refleksi, proyek tersebut telah terbantu oleh narasi yang diberikan para pemandu yang menceritakannya melampaui bentuk deskriptif semata, masing-masing pemandu telah diberi pengarahan untuk mengutarakan masalah spesifik dan bagaimana hal hal tersebut diarahkan dalam tiap-tiap karya. Namun, sebagai publik kita tidak pernah benar-benar bisa membuat pendapat tentang mikro-politik dari proyek semacam ini tanpa bertemu langsung dengan masyarakatnya, atau yang lebih baik lagi, mengobservasi prosesnya sendiri.

Kami meninggalkan situs itu, dan berjalan di seberang jalan menuruni lereng kecil menuju salah satu rumah tua yang sudah tampak pudar. Kami memasuki ruangan yang adalah sebuah hotel dan melihat dokumentasi penampilan interaktif oleh Mella Jaarsma yang menggunakan hawa dingin lemari es untuk mendinginkan suhu tubuh para tamu supaya dapat merasakan efek pemanasan penuh dari cokelat panas yang disajikan di sana. Lewat di sisi lain, kami berjalan lebih jauh kali ini, sambil mengobrol tentang keadaan Kaliurang di masa lalu dan masa kini, arsitektur bangunan, cuaca, dan biennale yang waktunya bertepatan dengan penyelenggaraan proyek ini. Berbelok ke kiri, menuruni tanjakan, kami sampai di rumah sang kurator dan pemandu kami, yang menjadi tempat bagi karya Dimaz Maulana dan Sandi Kalifadani. Maulana menciptakan suasana untuk menceritakan kembali kisah-kisah dari wawancara yang ia lakukan dengan penduduk tentang kenangan pribadi suatu tempat, dikombinasikan dengan narasi fiksi. Kalifadani menyajikan instalasi dokumentasi Walk The Folk, sebuah proyek dalam bentuk tur jalan kaki / pertunjukan / bertukar cerita.

Beberapa ratus meter menurun lebih jauh di jalan yang sama kami sampai pada serangkaian ruang yang berdampingan. Sebuah hotel kecil tampak menjadi tuan rumah bagi proyek pemandu kami Dito Yuwono, bersama dengan karya Anggun Priambodo di unit berikutnya. Di sini Yuwono membayangkan kembali proyek sebelumnya di mana ia bekerja dengan Tukang Foto Keliling; fotografer wisata yang memotret pengunjung dengan menggunakan kamera Polaroid, menyediakan suvenir instan. Ia berdiskusi dengan para tukang foto keliling tentang kondisi kerja mereka yang berubah ketika pariwisata perlahan-lahan menurun, sekaligus dampak perubahan pada teknologi fotografi; penghentian produksi film Polaroid dikombinasikan dengan proliferasi kamera ponsel pintar membuktikan puncak kematian utama bagi bentuk pekerjaan ini di daerah tersebut.

Karya Priambodo melibatkan serangkaian kegiatan yang tumpang tindih dengan komunitas lansia. Ia mulai dengan menjadi sukarelawan bersama kelompok tersebut, mengajar kelas akting, serta meminjamkan keahliannya kepada masyarakat lokal untuk mempromosikan daerah tersebut kepada pengunjung. Instalasi terakhirnya termasuk sebuah video dari kelompok lansia menyanyikan lagu yang ditulis oleh seorang aktivis setempat yang juga bagian dari kelompok lansia, serta tumpukan kayu yang ia temukan, dipangkas rapi untuk dijadikan tongkat berjalan yang dapat dipinjam secara gratis untuk digunakan selama tongkat-tongkat itu dikembalikan atau dipinjamkan ke pejalan berikutnya. Dua proyek terakhir, yang ditempuh dengan menyusuri putaran berkelok-kelok, adalah instalasi suara oleh Eva Olthof di stasiun pemantauan gunung Merapi dan toko pertukaran tanaman oleh Edita Atmaja yang meminta masyarakat lokal untuk bertukar tanaman rumah dan memetakan penyebarannya, menciptakan tempat bagi pelintas dengan berhenti, berdiskusi, dan berbagi cerita.

Bagi saya pertanyaan kunci yang terus menerus saya pertanyakan dari semua karya di 900mdpl dan untuk proyek itu sendiri adalah: kualitas hubungan apakah yang muncul antara mengunjungi dunia seni (termasuk para seniman yang berinteraksi selama beberapa minggu sekaligus audiensnya) dengan penduduk lokal Kaliurang. Seperti cabang-cabang pohon Kamboja di kuburan, lapisan hubungan sosial di tempat seperti Kaliurang, atau sebagian besar masyarakat lain, memiliki keterikatan dan kompleks. Hubungan-hubungan ini terlihat dari kondisi ekonomi dan sosial yang berubah dari konteksnya. Ketika terlibat dalam konteks seperti itu, penting untuk bertanya bagaimana kelompok seniman yang berkunjung dapat mengalihkan sistem produksi dan sirkulasi di mana mereka beroperasi (sistem seni) untuk memberi kontribusi nyata dan jangka panjang kepada kondisi masyarakat setempat.

Bekerja dengan komunitas lokal untuk secara kritis menginterogasi masa lalu dan masa kini mereka, untuk berpikir bersama tentang masa depan di luar apa yang ditentukan oleh logika pasar. Sebuah pertanyaan yang mulai kita lihat muncul dalam proyek-proyek Priambodo dan Yowono, misalnya, yang dapat dikembangkan lebih lanjut.

Formulasi ini penting, karena segala bentuk praktik sosial yang ada, sampai batas tertentu, selalu ekstraktif. Sekalipun hanya beberapa seniman mendapat kesempatan untuk membuat karya baru dan kurator memperoleh modal budaya tertentu. Karena itu, dalam pengembangan proyek-proyek seperti ini perlu untuk memikirkan secara mendalam tentang bagaimana dan mengapa kita meminta masyarakat untuk masuk ke dalam hubungan kolaboratif / menjadi tuan rumah. Bagi saya, tujuan terpenting dari setiap praktik sosial harus dimulai dari komunitas, untuk bekerja bersama mereka untuk melakukan perubahan sosial jangka panjang (sekecil apapun skalanya perubahan itu harus terjadi). Pada saat yang sama, bekerja secara mendalam di tingkat lokal sekaligus menanyakan bagaimana keberhasilan dapat ditingkatkan ke sistem trans-nasional, meskipun hal ini mungkin hanyalah angan-angan semata. Kembali ke konteks spesifik Kaliurang, sebuah kota wisata tua, pertanyaannya barangkali; apa yang dapat dilakukan masyarakat setempat setelah tren / meme membuat banyak wisatawan berpaling dari postingan viral menuju pencarian tempat selfie bagus selanjutnya? Dapatkah iklim mikro di lereng gunung ini berfungsi sebagai ruang di mana bentuk-bentuk alternatif pengorganisasian masyarakat dan sistem mikro-politik dapat dipelihara dan dikembangkan? 


(Alec Steadman)