Mengunjungi Kembali Perjalanan Panjang yang Perlahan Menuju 900mdpl: Sebuah Catatan Pribadi


for English version, click here

-----



Perjalanan Pertama: 900mdpl 
900mdpl adalah sebuah proyek seni site-specific berkelanjutan di Kaliurang, sebuah desa kecil di lereng Selatan kaki Gunung Merapi yang masih aktif di Yogyakarta - Indonesia. Kaliurang dapat ditempuh dalam satu jam dari pusat kota Yogyakarta dan memiliki ketinggian rata-rata 900 meter di atas permukaan laut (900mdpl). Secara historis, Kaliurang dibangun bagi para geolog Belanda sebagai area peristirahatan pada masa colonial; menikmati masa kejayaannya sampai akhir dari era Orde Baru dan masih menjadi basis yang penting bagi ahli vulkanologi untuk memonitor aktivitas Gunung Merapi.

900mdpl bertujuan untuk merespon ruang, mengumpulkan cerita, dan kembali mengunjungi kearifan lokal sambil serta melakukan pertukaran pengetahuan dan melibatkan komunitas warga lokal melalui proyek-proyek yang sifatnya kolaboratif dan program publik. 900mdpl terdiri dari dua bagian: pertama, periode residensi menghasilkan proyek tunggal yang berbeda dari setiap seniman; kedua, presentasi proyek yang menyeluruh dari semua seniman yang dipresentasikan secara bersamaan di berbagai situs di sekitar Kaliurang yang dapat dinikmati oleh pengunjung dengan rute berjalan kaki dan tur.

Teks ini bertujuan untuk mengunjungi kembali perjalanan panjang yang ditempuh dengan perlahan dalam menciptakan 900mdpl; sebuah proyek site-specific yang dimulai dari periode residensi pada awal 2014, hingga masa presentasi final di bulan November 2017.


Perjalanan Kedua: Tuan Rumah, Tamu, dan Percakapan tentang Menjadi Berakar sebagai Modal 

Ini adalah bagian di mana catatan pribadi dimulai. 

Kaliurang adalah tempat di mana saya dilahirkan dan dibesarkan, dan telah menjadi rumah nenek moyang saya selama tujuh generasi sampai dengan hari ini. Kami besar dengan mitos keluarga mengenai roh nenek moyang yang menjaga Gunung Merapi, kisah tentang ikan yang berkedip, seorang lelaki yang tersesat karena terpersona oleh peri hutan, dan tentang harimau putih yang memperingatkan pendaki gunung ketika mereka akan melewati rute yang berbahaya. Di malam hari, saya dibuat merinding oleh kisah tentang banaspati yang mengejar orang yang mengarahkan senter ke arah pucuk pohon atau wewe yang gemar menculik anak-anak yang masih bermain di luar saat matahari terbenam.

Kami menyadari bahwa di suatu tempat jauh di dalam hutan belakang rumah kami di Kaliurang, sihir merayap diam-diam di bawah mantra kerajaan besar Gunung Merapi. Kaliurang untuk saya tidak pernah sekedar menjadi sebuah tempat: namun juga kumpulan kisah-kisah. Di balik permukaan yang terlihat, setiap tempat dipenuhi dengan memori kolektif, roh, mitos, ketiadaan hal-hal yang sebelumnya ada, dan identitas tidak terlihat dari yang terlihat. Merujuk pada kata-kata De Certeau, “Cerita menjadi hal yang pribadi dan tenggelam dalam tempat tersembunyi di lingkungan sekitar, keluarga, atau individu […] sementara itu kenangan menjadi semacam anti-museum: tidak dapat dikumpulkan dalam satu tempat .” Namun hal-hal yang tidak terlihat itu membangun lapisan demi lapisan yang menjadikan sebuah tempat bermakna.

Mungkin terdapat mantra yang aneh di udara yang membuat orang terus kembali. Seorang anggota keluarga pernah memperingatkan saya untuk berhati-hati, karena mereka yang menjadi terlalu nyaman di Kaliurang akan terikat di sana seumur hidupnya. Sebagai tanggapan atas peringatan tersebut, saya membiarkan diri saya berkelana dan melarikan diri dari sana setiap kali ada kesempatan; namun pelarian ini selalu merupakan sebuah tindakan untuk kembali. Perjalanan (seperti berjalan kaki) adalah pengganti legenda yang digunakan untuk membuka sebuah ruang atas adanya suatu hal yang berbeda – cara untuk kembali menuju ke eksotisme terdekat dengan jalan memutar melalui tempat-tempat yang jauh. Setiap kali saya kembali dari pelarian saya yang tidak menentu, saya mengundang seseorang (seniman, musisi, sejarawan, dsb.) untuk melakukan residensi dan mengeksplorasi apakah ketertarikan saya terhadap tempat ini dapat ditularkan. Residensi ini merupakan proses pengembangan yang perlahan, dimulai pada awal 2014. Menjadi perlahan merupakan salah satu kualitas yang hadir di Kaliurang, yang kemudian saya terapkan dalam mengkurasi 900mdpl. Jauh dari hiruk pikuk kota Yogyakarta; Kaliurang adalah tempat di mana jalanan sepi dikelilingi oleh tanaman hijau yang subur, udara sejuk, tenang dan hanya suara samar obrolan tetangga yang sesekali mengalir bersama angin.

Seri residensi 900mdpl sendiri telah berlangsung dari tahun 2014 sampai 2016; selama periode ini, saya mengundang setiap seniman yang terlibat untuk tinggal di rumah saya di Kaliurang dalam durasi waktu dua minggu hingga tiga bulan. Sebagian seniman yang terlibat dalam proyek iniyang hidup di kota Yogyakarta dan telah akrab dengan area Kaliurang memilih untuk secara rutin melakukan perjalanan antara pusat kota Yogyakarta dan Kaliurang karena kedekatannya; dan hanya tinggal selama beberapa malam dalam proses yang intensif. Membuka rumah pribadi dan berbagi dengan orang lain untuk periode waktu yang lama bisa menjadi tantangan tersendiri. Hal ini membutuhkan kepercayaan, kenyamanan, keintiman dan keterbukaan. Hal tersebut tidak hanya diterapkan pada keberadaan fisik rumah ataupun peran tuan rumah dalam menyambut tamu namun juga dengan kehadiran non-fisik cerita dan legenda lokal – apakah para ‘tuan rumah’ sebenarnya, yaitu para warga Kaliurang, bersedia untuk berbagi cerita dengan para pengunjung. Cerita bisa menjadi sangat pribadi dan keterbukaan memungkinkan seseorang untuk menjadi rentan. Hal ini membutuhkan kemurahan hati warga setempat dan di sisi yang lain, seniman perlu mendapatkan kepercayaan dari masyarakat setempat, mengamati ciri-ciri yang tak terlihat, dan bekerja dengan hal-hal keseharian.

Dalam proyek ini berjalan kaki merupakan metodologi riset utama – seniman bebas untuk mengeksplorasi dan mengamati dengan berjalan kaki di lingkungan sekitar di Kaliurang; praktik berjalan kaki menjadi praktik yang puitis sekaligus menjadi pengamatan antropologis akan ruang; menelusuri fragmen, mengalami keruangan secara langsung dan sesekali berhenti untuk berhubungan dengan masyarakat melalui interaksi sosial.

Kepercayaan, rupanya menjadi sesuatu yang dengan mudah diberikan kepada saya sebagai penduduk asli oleh masyarakat setempat. Akar saya yang tertanam di situs ini (Kaliurang) bukanlah sesuatu yang sedari awal berani atau saya niatkan untuk dibuka. Saya khawatir bahwa saya akan menjadi terlalu dekat, terlalu berakar dan terlalu bias untuk menginisiasi sebuah proyek d tempat yang begitu intim dan personal bagi saya. Pada titik ini, percakapan mengenai identitas kultural dan akar sebagai modal dimulai. Dalam kasus ini, posisi saya sebagai penduduk asli adalah sesuatu yang saya anggap sebagai hak istimewa sebagai tuan rumah – sesuatu yang harus selalu disadari dan hanya digunakan secukupnya. Kedalaman akar saya di Kaliurang dapat dilihat sebagai sumber yang memudahkan penggalian pengetahuan lokal dan koneksi dalam proyek ini – sementara posisi dari seniman residensi yang datang sebagai pengamat, memiliki hak istimewa dari segi jarak dan kemungkinannya untuk menawarkan sudut pandang baru.

Proyek ini memiliki ambisi besar dan pendanaan nol; namun bagaimana proyek ini bisa tetap berjalan? Kontribusi sukarela dari masyarakat (di Kaliurang dan dalam dunia seni) lah yang memungkinkan proyek ini terlaksana: orang-orang yang membagi cerita pribadi mereka, orang-orang yang dengan begitu murah hati membagi waktu untuk menginterpretasikan sejarah lisan dari salah satu anggota tertua dari masyarakat; orang-orang yang mengijinkan kami menggunakan infrastruktur pribadi mereka, lahan tak terpakai, lobi hotel, restoran, dan kantor observasi gunung Merapi sebagai situs-situs presentasi akhir proyek ini; juga keluarga-keluarga yang sesekali mengundang para seniman untuk makan malam dan makan siang bersama. Akar saya sebagai salah satu anggota masyarakat, dengan segera diterjemahkan sebagai aset – modal non-moneter dari infrastruktur yang tidak saya miliki sendiri. Ini adalah sesuatu yang saya anggap remeh sampai seseorang menunjukkannya dan menyebutnya sebagai aset. Bukan hanya karena menyumbangkan sesuatu pada proyek ini memberikan rasa kepemilikan terhadap proyek itu sendiri, namun juga karena kami berbagi kegelisahan yang sama – (hal ini merupakan) dorongan untuk membuat catatan, untuk mengingat dan untuk mengarsip ingatan tersebut. Sebagai contoh, salah satu anggota tertua dari masyarakat mendekati saya d sebuahi ruang tunggu; ia mulai bercerita panjang lebar dengan komprehensif mengenai nenek moyang dan garis keluarganya. Ia bahkan menawarkan untuk menuliskannya untuk saya supaya saya dapat merujuk kembali pada catatan tersebut suatu hari nanti. Itu adalah pertama kalinya saya benar-benar berbicara panjang lebar dengannya, jadi saya bertanya kepadanya mengapa dia memutuskan untuk berbagi sejarah lisan yang begitu komprehensif dengan saya; dan jawabnya, “Karena saya tahu kamu mempercayai omong kosong ini dan kamu cukup peduli untuk melestarikannya”. Bagi saya, setidaknya itu satu hal yang bisa dilakukan.


Perjalanan Ketiga: 900 Meter di Atas Permukaan Laut, 8 km dari Kawah 
Sebulan setelah pameran ini berakhir, sebuah pertanyaan masih menggantung: “Apakah yang mendesakmu untuk membuat proyek ini?” Jauh di lubuk hati, mungkin jawabannya adalah ketakutan; mungkin juga keinginan untuk berbagi ketertarikan saya atas tempat ini; tapi, kemungkinan besar, ini merupakan sebuah impuls untuk mengarsipkan.

Ketika seseorang berkeliling di sekitar lokasi pameran 900mdpl, kehadiran gunung berapi terasa begitu kuat. Jika seseorang cukup beruntung untuk tiba di Kaliurang pada saat cuaca sedang cerah, ia akan disapa oleh kehadiran agung Gunung Merapi sebagai latar belakang, dengan dua bukitnya yang dipercaya sebagai pelindung desa Kaliurang. Sulit untuk melepaskan diri dari bayangan agung Gunung Merapi, bernafas di belakang leher kita. Terkadang kehadirannya terlewatkan begitu saja, namun sebagian besar waktu terasa nyaman, megah, dan kuat. Ketimbang merasa takut, penduduk asli memahami hubungan timbal balik antara manusia dan gunung Merapi.

Gunung Merapi adalah gunung berapi paling aktif di Indonesia dan telah meletus secara reguler sejak 1548. Gunung ini adalah salah satu dari 16 ‘Gunung Berapi Dekade’, yang dinilai layak untuk dipelajari secara khusus mengingat sejarah letusannya yang besar dan kedekatannya dengan daerah berpenduduk. Gunung Merapi adalah juga gunung berapi penting dalam kebudayaan Jawa dan dipercaya sebagai kerajaan mistik dan mitra spiritual Kesultanan Yogyakarta. Roh dari nenek moyang yang baik tinggal di kerajaan di gunung sesekali mengunjungi keturunan mereka dalam mimpi untuk menyampaikan ramalan atau peringatan ketika gunung tersebut akan meletus. Dalam simbolisme kosmologis Jawa, Merapi adalah satu dari tiga ‘kerajaan’ penguasa di Yogyakarta; tiga kerajaan yang berkuasa terhubung melalui sumbu sakral – dari titik utara, Gunung Merapi; titik pusat, Monumen Tugu dan Kraton Yogyakarta; dan titik selatan adalah wilayah Ratu Pantai Selatan. Semuanya terikat dalam hubungan timbal balik antara satu dengan yang lain.

Dia, sang Gunung Merapi, dipersonifikasikan karena ia dipercaya sebagai mahkluk hidup yang bernafas dan memiliki kesadaran serta kehendak. Apa yang dilihat oleh mata sebagai lahar, aliran lava, batu, dan awan panas dipercaya sebagai tentara roh yang mendiami kerajaan besar Gunung Merapi yang sedang memiliki keperluan untuk menuju kerajaan Laut Selatan. Setiap kali ada erupsi besar, orang-orang yang tinggal dekat gunung perlu memberikan jalan untuk para roh dan menyingkir untuk sementara waktu. Setiap kali erupsi terjadi, orang-orang yang tinggal di lereng gunung percaya bahwa Kerajaan Gunung Merapi sedang merayakan sesuatu – erupsi dianggap sebagai proses peremajaan, memberkati orang-orang di lereng dengan hujan abu yang membuat lahan menjadi subur. Baru setelah erupsi tahun 2010 yang menyebabkan Gunung Merapi berubah bentuk, orang-orang mulai takut dengannya. Seiring dengan perubahan bentuk dan kecenderungan yang eksplosif, Gunung Merapi terasa asing dan mengancam. Dalam letusan besar di tahun 2010, 320,000 orang dievakuasi dari daerah yang berbahaya dan korban tewas lebih dari 350 orang. Akibatnya, banyak desa yang terbakar dan terkubur abu. Untuk pertama kalinya selama bertahun-tahun, gunung berapi tersebut memicu paranoia di antara orang-orang dengan ancaman dan bahaya yang nyata. Rasa ketidakkekalan menjadi semakin kuat; terutama di tempat-tempat berpenduduk yang dekat dengan kawah. Kaliurang, 8 kilometer dari kawah, berdenyut dengan perasaan temporalitas yang diam. Inilah titik awal dorongan saya untuk mengarsipkan cerita orang-orang, kekhususan yang terkandung dalam situs ini serta ingatan-ingatan kolektif.


Perjalanan Keempat: Sebuah Usaha untuk Pulang 
Apa makna penciptaakan sebuah proyek seni di kaki gunung berapi? Untuk para seniman, hal ini berarti membenamkan diri mereka ke dalam sebuah komunitas yang terhubung erat dan terus menerus terbentuk ulang dalam bentuk-bentuk kecil komunitas temporal dengan kekerabatan dan kedekatan yang semakin kuat setiap kali gunung Merapi meletus. Bagi saya, ini adalah sebuah usaha untuk pulang. Tidak dapat dipungkiri bahwa topik-topik atas nostalgia, komunitas, memori kolektif, turisme, pertukaran non-moneter, dan tentang gunung berapi itu sendiri muncul secara berulang dan bertabrakan dalam proyek ini.

Dalam bagian ini, saya akan membawa Anda berjalan kaki di sekitar Kaliurang untuk mengunjungi setiap situs pameran. 
1/
Lokasi pertama adalah sebuah toko antik lokal telah tturun temurun dikelola selama tiga generasi. Pemilik pertamanya membuka toko ini di tahun 1930 dan merupakan seorang koki legendaris yang terkenal akan masakannya yang luar biasa nikmat dan disajikan bagi keluarga kerajaan, generasi kedua kemudian menurun pada anak perempuannya: seorang pebisnis handal yang membuat toko tersebut menjadi jujugan semua orang di desa ini. Di toko tersebut ia menjual apa saja, dari camilan lokal hingga cokelat Belanda dan parfum dari Jerman. Generasi ketiga dari pemilik toko ini adalah seorang pria yang memilih jalan lain bersama dengan passion yang kuat atas barang-barang antik dan sejarah benda keseharian dari seluruh dunia. Simon Kentgens adalah seniman dari Rotterdam yang memilih untuk bekerja dengan pemilik Warung Joyo di Kaliurang. Ia mengeksplorasi toko tersebut sebagai sebuah ruang sosial di mana tidak hanya produk yang dipertukarkan tapi juga kabar berita, anekdot, gosip, dan sejarah. Sebagai bentuk akhir, ia mempresentasikan karya video penjelasan pendek tentang hubungan benda dan pemiliknya dan mengapa sesuatu benda tertentu menjadi istimewa. Betapa pun benda-benda ini terlihat remeh, mereka bisa menunjukkan kepada kita keterkaitan ekonomi lokal dan global serta sejarah di sekeliling kita dan dunia. Di saat yang sama, ia menciptakan sebuah metode membuat katalog yang dingin dan kering ala sebuah museum dan menampilkannya di Instagram (http://instagr.am/warung_joyo). Bisakah sebuah toko berfungsi layaknya sebuah museum relasi kontemporer? Sesuatu yang dimana objek-objek dan cerita tersebut tak serta merta berhenti di situ saja seperti dalam sebuah museum tradisional; namun secara terus menerus bergerak , berubah dan bertukar tangkap?

2/
Situs kedua adalah sisa-sisa rumah yang dulunya milik Lik Sigun – seseorang yang hilang di hutan sakral di lereng Gunung Merapi. Ketika berjalan-jalan di Kaliurang, Maryanto menemukan bekas rumah Lik Sigun – dipenuhi dengan memori kolektif dan anekdot lokal tentang seorang pria yang unik. Selama hidupnya, Lik Sigun tinggal di rumah tersebut, damai dan terbebas dari dunia yang kian memusingkannya. Ia adalah seorang pria yang mempunyai sebuah motor yang dihias dengan bendera Indonesia dan, alih-alih mengendarai motornya, ia membawa motor tersebut berjalan-jalan setiap harinya. Ia belajar bela diri untuk melindungi mereka yang paling menjadi perhatiannya. Ia membuat pedang di tengah malam dengan menggunakan rongsokan yang ia temukan di jalanan. Ketika kambingnya mati, alih-alih menguburkannya, ia malah mengikat keempat kaki kambing tersebut di tiang-tiang rumahnya, membiarkannya membusuk dan mengering dengan sendirinya. Tiga tahun lalu, ia menghilang di sebuah hutan bernama Hutan Bingungan, dan belum ditemukan hingga sekarang. Menggunakan metodenya dalam melukis, Maryanto membiarkan rerumputan di sekitar rumah Lik Sigun tumbuh liar untuk kemudian merapikannya dan menyoroti bagian rahasia dimana ’karya seni’ Lik Sigun tersembunyi di dalamnya, membuat sebuah lanskap konseptual akan kenangan tentang Lik Sigun.


3/ 
Mella Jaarsma memilih untuk mempresentasikan karyanya di salah satu rumah asli Belanda yang masih berdiri di Kaliurang sebagai situs performans. Selama masa penjajahan, pemerintah Belanda membuat pemukiman di area pegunungan untuk keluar dari panasnya cuaca tropis Indonesia. Mereka membangun rumah-rumah singgah di Puncak, Lembang, Munduk, dan Kaliurang. Hingga sekarang kita bisa menemukan arsitektur Belanda dan sisa-sisa peninggalan lainnya di area-area tersebut. Bagi Mella Jaarsma yang lahir di Emmerloord, Belanda dan kemudian berpindah ke Indonesia di tahun 80an, Kaliurang adalah tempat dimana ia mendapatkan sepercik nostalgianya. Menurutnya: “Sebuah rumah kecil di pusat Kaliurang, yang mengingatkanku pada rumah nenek di Belanda, adalah tempat yang beberapa kali aku kunjungi sejak tahun delapan puluhan untuk mendapatkan seteguk rasa nostalgia, udara sejuk, dan secangkir coklat panas. Untuk proyek ini aku akan membawamu menuju Vogels, sebuah kafe pelancong di tengah Kaliurang bersama sang empunya, Pak Christian, yang dulunya kerap membawa orang naik ke gunung Merapi dan memiliki banyak kisah untuk diceritakan, sementara aku akan menyajikanmu secangkir kecil minuman hangat atau dingin untuk mengaktifkan indra perasamu.”

4/
Sandi Kalifadani memilih sebuah garasi di sebuah rumah pribadi yang sebelumnya digunakan sebagai situs Walk The Folk yang pertama. Walk the Folk (WTF) adalah sebuah pertunjukan musik partisipatoris rahasia dimana orang-orang diundang dan diajak untuk berbagi tak hanya pertunjukkan musik tapi juga kisah, puisi, kopi, bantuan, dan lain-lain. Ini adalah sebuah gig dengan semangat ‘kado silang’. WTF menanggalkan batasan antara panggung dan penonton: semua penonton adalah penampil dan sebaliknya. Selagi berjalan, seorang warga lokal memandu para partisipan menuju tempat-tempat tujuan dan menceritakan kisah-kisahnya selama perjalanan. Di WTF #1 (2014), acara ini menggunakan ruang publik yang ditinggalkan di sekitar Kaliurang; WTF #2 (2015) menggunakan ruang-ruang privat yang juga kosong dan ditinggalkan, dan WTF #3 (2015) menggunakan ruang berkumpul komunitas. Ketika melihat pada dokumentasi yang ditampilkan dalam pameran ini, orang akan menemukan perbedaan lanskap dan politik ruang di Kaliurang dari tahun 2014 hingga sekarang: separuh lapangan tenis telah berubah menjadi area parkir, sebuah rumah lama yang indah telah digusur dan berubah menjadi sebuah bangunan beton masa kini, kolam renang yang dulunya terabaikan kembali beroperasi menjadi lahan bisnis, dan sebagainya.

5/
Dimaz Maulana adalah seorang sejarawan yang memutuskan untuk menceritakan kisah orang-orang Kaliurang untuk proyek ini. Menurutnya, Kaliurang adalah sebuah tempat wisata dimana orang-orang dapat menghilangkan sejenak masalah dan kelelahan mereka. Menjadi tempat yang menanggung beratnya ekspektasi tersebut, Dimaz kemudian membayangkan bagaimana aspirasi, fantasi dan mimpi orang-orang akan Kaliurang. Ia kembali menelusuri apa yang tersisa dari masa keemasan Kaliurang di tahun 80an hingga 90an, semua gemerlap kejayaan masa lalu dan kisah-kisahnya. Dimaz kemudian mulai mengumpulkan serpihan serpihan memori kolektif, mitos, cerita rakyat, sembari merunut asal muasal orang pertama yang membuka hutan di kaki gunung merapi menjadi sebuah desa. Sejarah lisan tersebut kemudian ia ubah menjadi cerita dongeng; dengan menggabungkan kearifan lokal dan kepercayaan, Dimaz kemudian memutuskan untuk membuat benak orang-orang mengawang sembari menceritakan kisah yang dikumpulkannya secara langsung (saat sesi dongeng yang dijadwalkan) atau dalam sebuah latar yang membangkitkan rasa nostalgia. Di sini, ia mengubah dirinya menjadi seorang tukang dongeng keliling, membawa pengunjung ke dalam momen yang lampau.

6/
Di penghujung 2013 hingga tahun 2015, Dito menginisiasi proyek “Recollecting Memories: Tukang Foto Keliling” sebagai sebuah riset berkelanjutan yang berpusat pada penelusuran praktik fotografi pariwisata di Kaliurang. Proyek ini berangkat dari arsip foto dari sebuah kelompok fotografi informal di Kaliurang yang aktif antara tahun 1981 – 2005 sekaligus dari ingatan akan praktek foto pariwisata yang terjadi di masa kejayaan Kaliurang. Kajian ini telah dipresentasikan dalam sebuah publikasi dan pameran retrospektif dari klub fotografi anonim yang kemudian dinamakan “Kelompok Fotografi Kaliurang”. Melalui sejarah tukang foto keliling ini, kita tidak hanya mendapatkan sekilas pandang tentang aspek ekonomi pariwisata terutama di kawasan Kaliurang, tapi juga belajar tentang sejarah wilayah, hubungan sosial diantara penduduk lokal dan pendatang, praktik kuasa yang bekerja di dunia fotografi selama masa Orde Baru melalui sebuah kampanye nasional bernama Kampanye Sadar Wisata, dan jatuhnya industri Polaroid.

7/
Ketika Anggun Priambodo memutuskan untuk tinggal di Kaliurang selama dua minggu berturut-turut, ia membuka diri kepada seluruh kesempatan yang ada. Ia memulai ritual paginya dengan berjalan kaki, melakukan pekerjaan sehari-hari, minum kopi di beranda, menulis, membaca dan berinteraksi dengan warga sekitar. Kehadirannya dalam komunitas setempat bersifat sementara, dan karenanya, ia takjub ketika melihat betapa dekatnya jalinan hubungan antar manusia dalam komunitas ini. Menurut Anggun, hal ini merupakan hasil dari perasaan senasib sepenanggungan yang ditimbulkan oleh bayangan mencekam Gunung Merapi yang masih aktif. Namun, kenyamanan hidup di Kaliurang lah yang membuat orang-orang terus datang kembali, membuat komposisi manusianya tidak banyak berubah. Dengan cepat ia berteman dengan penduduk sembari merespon interaksi yang terjadi dengan membuat karya baru yang kemudian menjadi ‘pameran tunggal’-nya. Tanpa membutuhkan waktu yang lama, ia mulai meniru kegiatan warga lokal dengan menjual tongkat kayu, menjadi relawan untuk latihan sore para lansia dengan membuat kelas akting, dan menceburkan diri pada kegiatan yang tanpa lelah dilakukan penduduk lokal untuk mempromosikan Kaliurang dengan mencetak ‘Gambar Umbul Kaliurang’. Segalanya berkumpul menjadi satu dalam sebuah pameran berjudul ‘Anjelir’, yang terinspirasi oleh sebuah lagu dengan judul sama yang dibuat oleh seorang aktivis Kaliurang bagi para lansia.

8/
Eva Olthof memilih untuk mempresentasikan instalasi suaranya di dalam kantor Pos Pengamatan Gunung Merapi di Kaliurang. ‘Jika Merapi menyuruh kita pergi, kita pergi’ (2017) terdiri dari kumpulan dan tumpukan wawancara, rekaman lapangan, iklan dan suara handy talky yang disusun di antara tahun 2015 hingga 2017 mengenai Gunung Merapi. Mendengarkannya, Anda akan dibawa keluar masuk ke dalam cerita-cerita terkait dengan kehidupan di lereng gunung Merapi: “Pada tanggal 25 November Gunung Merapi meletus. Seismograf pada dua hari sebelumnya, 23 dan 24 November 1930, menunjukkan bahwa ada banyak guratan-guratan besar dan banyak sekali garis-garis kecil” / “Ketika aku berada di hutan aku tahu kapan gunung tersebut akan meletus dengan hanya melihat pergerakan alam yang sekelebatan” / “Setelah tahun 2010, orang-orang mulai mendengarkan rintik hujan yang membangunkan mereka di malam hari, beberapa orang tak bisa membedakan apakah itu suara batu yang menggelinding dari atas atau hanyalah rerintik hujan (...) Dan saat itulah mereka mulai menyalakan handy talky mereka”/ “Suaranya seperti, weeee, weeee, weeee, .. itu artinya ada sesuatu yang gawat terjadi di bawah tanah. ” / “Karena sekarang ada sebuah radio komunitas, kami sadar kami bisa melakukannya sendiri, dan kami bisa memberikan berita, karena media pada umumnya tidak selalu menyediakan informasi yang benar” / “Kami semua terpaksa mengungsi bersama kawanan lainnya, tapi satu persatu dari kami pulang ke rumah sendiri-sendiri” / “Setelah letusan di tahun 2010 pemerintah mengatakan kepada warga bahwa inilah zona bahaya dan sekarang beberapa pengusaha membuka kastil untuk pariwisata, yang diprivatisasi”

9/
Edita Atmaja meneruskan risetnya sejak residensi yang dilakukan dua tahun lalu dengan tinggal lebih lama untuk lebih menceburkan diri dalam komunitas. Selama masa residensi pertamanya ia mengumpulkan informasi mengenai beberapa tipe vegetasi yang terkenal yang merupakan tanaman khas Kaliurang dan bagaimana tanaman itu saling berkait-kelindan dengan warga sekitar. Ketika ia memulai penelusuran akan tanaman-tanaman tersebut, secara samar ia melihat sebuah peta sirkulasi tanaman yang dipenuhi dengan sentuhan tangan manusia. Perbedaan pola ini menunjukkan keterkaitan komunal yang terjadi. Hasilnya, ia menemukan sebuah ikatan khusus diantara tanaman dan orang Kaliurang yang ia tampilkan dalam “Botanica 1.1: Vanda Tricolor and Other Findings”. Alih-alih menemukan hubungan biologis dari tanaman khas tersebut, ia malah menemukan betapa ramahnya orang-orang Kaliurang saat bersosialisasi dan bertukar sapa dengan tetangga sekitarnya. Kali ini, Edita mencoba mensimulasikan pertukaran ini dengan mempersiapkan sebuah toko non-profit yang ia sebut “Taman Tukar” terutama untuk mengaomodasi orang-orang Kaliurang untuk bertemu tetengga sekelilingnya, bertukar tanaman kebun sendiri, dan berbagi informasi tentangnya. Segala informasi tersebut terdokumentasikan dan bisa diakses secara publik oleh siapa saja dalam proyek ini.

Perjalanan Kelima: Sang Pejalan Kaki, Sang Perajut
Proses berjalan kaki merupakan bagian yang krusial dalam pameran kali ini. Bagi pengunjung, jalan kaki menjadi sikap partisipasi yang kemudian berubah menjadi sebuah ruang pengalaman untuk secara aktif menjalin narasi antar ruang dari masing-masing seniman. Pada saat Anda berjalan kaki, Anda akan merasakan tempo, ritme waktu, dan keheningan yang diperlukan dalam penciptaan proyek ini dan menikmatinya secara utuh. Anda dapat menghabiskan waktu berjam-jam dengan para seniman untuk berbincang mengenai karya mereka dan hal-hal lain di antaranya. Waktu adalah sesuatu yang lucu. Terkadang waktu terasa seperti ditarik untuk membentuk sesuatu yang panjang dengan permukaan yang tipis. Di sini, waktu terasa berlimpah namun memiliki kesementaraan: ini adalah waktu untuk menyimpan catatan atas ruang ini dan terus menambahkannya. 900mdpl diproyeksikan sebagai sebuah benih untuk proyek seni site-specific berkelanjutan di tahun-tahun berikutnya, menawarkan ruang dengan berbagai kemungkinan.

(Mira Asriningtyas)

----

i/The previous version of the note, version 1.0 was published online as a text contribution to Natural Capital online publication in htt[://naturalcapital.online/revisiting_the_long_slow_walk_to_900MDPL.html , The version 2.0 is an updated version of the text with addition on project evaluation and other thoughts.   

ii/Certeau, M. D. (1984). “Walking in the City”, The Practice of Everyday Life . Berkeley/Los Angeles, Ca: University of California Press, 108

iii/Ibid, 106-107.
  
iv/Mount Merapi. Retrieved December 13, 2017, from https://en.wikipedia.org/wiki/Mount_Merapi
  
v/Decade Volcanoes. Retrieved December 13, 2017, from https://en.wikipedia.org/wiki/Decade_Volcanoes
  
vi/Triyoga, L. S. (1991). Manusia Jawa dan Gunung Merapi: Persepsi dan Kepercayaannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 45 - 54